top of page

Undang-Undang Anti-Diskriminasi Tetap ‘Ditunda’ di Pemerintahan Lee Jae-myung

  • lgbtnewskorea
  • 19 Agu
  • 5 menit membaca

Hak asasi manusia yang kembali ditunda, pembentukan Undang-Undang Anti-Diskriminasi masih jauh di pemerintahan Lee Jae-myung.

  • Penerjemah bahasa Indonesia: Payung

  • Pemeriksa bahasa Indonesia: -

  • Penulis bahasa asal: 레이

  • Pemeriksa bahasa asal: Miguel

  • Dipostingkan oleh: Miguel

  • Didesain oleh: 가리


Undang-Undang Anti-Diskriminasi pada pokoknya melarang diskriminasi di seluruh bidang dan bertujuan mewujudkan kesetaraan yang nyata dengan secara efektif memberikan pemulihan bagi korban diskriminasi. Di antara alasan pelarangan diskriminasi tersebut, keberadaan “orientasi seksual” serta “identitas gender” selalu menghadapi penolakan kuat dari kalangan agama, dan dunia politik pun merespons penolakan ini sehingga proses menjadikan diskusi terbuka publik pun tidak berjalan dengan semestinya.


Bagi kaum minoritas seksual, Undang-Undang Anti-Diskriminasi bukan sekadar “perlindungan hukum”, melainkan persoalan yang berkaitan langsung dengan hak untuk bertahan hidup sehari-hari. Hal ini karena mereka hidup dalam kenyataan di mana seseorang bisa dipecat dari pekerjaan akibat Outing di tempat kerja, namun tidak memiliki mekanisme pemulihan yang memadai. Undang-Undang Anti-Diskriminasi merupakan jaring pengaman minimum agar kaum minoritas seksual dapat hidup dengan martabat dan kesetaraan dasar sebagai manusia. Namun, meskipun ada upaya dari sebagian pihak, Undang-Undang Anti-Diskriminasi masih belum berhasil disahkan.

 

18 Tahun Tanpa Kemajuan, Pembahasan RUU Anti-Diskriminasi Komprehensif

Di Korea, pembahasan mengenai pengesahan Undang-Undang Anti-Diskriminasi Komprehensif telah terhambat selama 18 tahun. Pada tahun 2007, ketika Kementerian Kehakiman pertama kali mengumumkan rancangan undang-undang tersebut, kelompok Kristen konservatif menentangnya dengan keras karena adanya istilah seperti “orientasi seksual” yang tercantum dalam rancangan itu. Setelah itu, rancangan undang-undang yang telah direvisi kembali diajukan dengan menghapus tujuh alasan diskriminasi termasuk “orientasi seksual”. Namun, hal ini tidak lepas dari kritik masyarakat sipil yang menilai bahwa alasan-alasan diskriminasi telah dipilih secara selektif untuk menyesuaikan dengan tuntutan kelompok berkuasa. Pada akhirnya, rancangan undang-undang tersebut kandas karena mendapat penolakan kuat dari masyarakat sipil.

 

Sejak saat itu, pada setiap masa sidang parlemen walau selalu ada upaya untuk mengesahkan Undang-Undang Anti-Diskriminasi, namun selalu gagal terlaksana.

 

Titik balik dimulai pada Pemilu Umum ke-21 bulan April 2020, ketika kekuatan progresif seperti Partai Demokrat Korea dan Partai Keadilan meraih kemenangan besar dalam pemilihan anggota parlemen. Sepuluh orang termasuk Jang Hye-young, anggota Partai Keadilan, kembali mengajukan RUU Anti-Diskriminasi Komprehensif, dan setelah itu anggota Partai Demokrat seperti Lee Sang-min, Park Ju-min, dan Kwon In-sook juga mengajukan rancangan undang-undang masing-masing sebagai pengusul utama di Majelis Nasional. Selain itu, pada bulan Juni 2021, petisi nasional untuk pengesahan Undang-Undang Anti-Diskriminasi berhasil memperoleh lebih dari 100.000 tanda tangan dan secara otomatis dirujuk ke Komite Legislasi dan Kehakiman Majelis Nasional. Di Korea, berdasarkan Undang-Undang Majelis Nasional, setiap warga dapat mengajukan permintaan kepada Majelis melalui sistem daring, dan pada saat itu, petisi yang memperoleh lebih dari 100.000 tanda tangan wajib ditinjau oleh Majelis. Namun, rancangan undang-undang tersebut tetap tertahan di Komite Legislasi dan Kehakiman tanpa disahkan, dan hingga dibukanya Majelis Nasional ke-22 saat ini, undang-undang itu masih menjadi “pekerjaan rumah yang belum terselesaikan.”


Isi detail rancangan undang-undang dapat dilihat melalui tautan (https://equalityact.kr/equalityact-bill/) (meskipun garis besar yang mengatur tindakan diskriminasi termasuk alasan seperti “orientasi seksual” dan “identitas gender” serupa, terdapat perbedaan dalam jumlah alasan diskriminasi, bidang diskriminasi, serta mekanisme pemulihan bagi pengadu).


Pada tanggal 10 Juni 2021, di depan Majelis Nasional di Yeouido, Seoul, para anggota Perhimpunan Pengacara untuk Masyarakat Demokratis menyampaikan pidato mereka dalam aksi Kamis ke-9 “Segera dan Sekarang” yang menuntut pengesahan Undang-Undang Anti-Diskriminasi. (Sumber: Hankyoreh)
Pada tanggal 10 Juni 2021, di depan Majelis Nasional di Yeouido, Seoul, para anggota Perhimpunan Pengacara untuk Masyarakat Demokratis menyampaikan pidato mereka dalam aksi Kamis ke-9 “Segera dan Sekarang” yang menuntut pengesahan Undang-Undang Anti-Diskriminasi. (Sumber: Hankyoreh)


Lampiran video YouTube penjelasan pengajuan RUU oleh anggota parlemen Jang Hye-young

Selama 18 tahun terakhir di mana pengesahan Undang-Undang Anti-Diskriminasi terhambat, kehidupan dan penderitaan kelompok minoritas sosial, termasuk kaum LGBT, telah diabaikan.

 

Kontroversi Undang-Undang Anti-Diskriminasi yang Kembali Muncul dalam Debat Pemilu 2025

Undang-Undang Anti-Diskriminasi tetap menjadi isu panas dalam Pemilu 2025. Dalam debat televisi yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum pada 18 Mei, Kwon Young-guk, calon dari Partai Buruh Demokrat, menyatakan bahwa “salah satu tuntutan terbesar generasi muda 2030 adalah pengesahan Undang-Undang Anti-Diskriminasi” seraya menanyakan kepada calon Lee Jae-myung apakah ia setuju dengan pengesahan undang-undang tersebut. Lee Jae-myung menanggapi dengan mengatakan, “diskriminasi yang muncul karena faktor tertentu dan membiarkannya tentu tidaklah tepat,” lalu menambahkan, “arahnya memang benar, tetapi sulit untuk segera dilaksanakan,” sehingga kembali menunjukkan sikap yang bersifat menunda.



Calon Kwon Young-guk segera menanggapi dengan berkata, ‘Apakah ini benar-benar masalah konsensus sosial? Saya dapat mengatakan bahwa ini adalah masalah keputusan.’ Dengan demikian ia secara langsung menyoroti kenyataan bahwa Undang-Undang Anti-Diskriminasi terus tertunda selama 18 tahun dalam kerangka ‘konsensus sosial’. Kenyataan bahwa bahkan calon presiden kuat dari partai berkuasa maupun oposisi belum mampu menyatakan dukungan yang jelas, memperlihatkan betapa hak asasi kaum minoritas seksual masih terpinggirkan dalam dunia politik Korea.


Video debat antara calon Lee Jae-myung dan calon Kwon Young-guk

Undang-Undang Anti-Diskriminasi Tetap ‘Ditunda’ di Pemerintahan Lee Jae-myung

Presiden Lee Jae-myung yang terpilih kemudian menunjuk Kim Min-seok sebagai calon Perdana Menteri. Kim Min-seok, yang merupakan seorang Kristen, dalam konferensi pers dengan wartawan asing pada 17 Juni mengulangi pendapat lamanya mengenai Undang-Undang Anti-Diskriminasi dengan mengatakan bahwa “memerlukan lebih banyak diskusi sosial.” Secara khusus, ia mengkritik atas dasar keyakinan agama, menyatakan bahwa “ada suara penolakan yang mendesak karena takut akan menjadi target hukuman,” dan itu adalah pernyataan yang jelas-jelas didasarkan pada kesalahpahaman mengenai Undang-Undang Anti-Diskriminasi.



Calon Perdana Menteri Kim Min-seok menghadiri konferensi pers dengan wartawan asing pada 17 Juni 2025 dan memberikan jawaban. (Sumber: Hankyoreh21)
Calon Perdana Menteri Kim Min-seok menghadiri konferensi pers dengan wartawan asing pada 17 Juni 2025 dan memberikan jawaban. (Sumber: Hankyoreh21)

Kenyataannya, hingga saat ini dalam 11 kali pengajuan RUU Anti-Diskriminasi, tidak pernah ada ketentuan pidana yang mengatur penghukuman atas tindakan diskriminasi itu sendiri. Satu-satunya pasal pidana berlaku hanya ketika pihak yang mengajukan pengaduan mengalami tindakan balasan berupa kerugian yang bersifat represif, dan seseorang tidak akan dihukum hanya karena mengucapkan pernyataan diskriminatif. Mantan anggota Partai Keadilan, Jang Hye-young, menegaskan bahwa “mengangkat kekhawatiran yang berlebihan yang berdasar pada informasi palsu menjadi ‘suara konstitusional yang mendasar’ adalah sebuah perilaku yang keliru,” serta menambahkan, “tugas seorang anggota parlemen senior sekaligus calon perdana menteri adalah meluruskan informasi palsu tersebut dan meredakan kekhawatiran, bukan menggunakan mikrofon yang diberikan kepadanya untuk melegitimasi dan menyebarkan kekhawatiran itu.”


Selain itu, kritik juga muncul terkait pernyataan Kim (Min-seok) pada sebuah acara yang diselenggarakan oleh organisasi Kristen “Mission Network Badan Hukum Sekolah Swasta” pada November 2023, ketika ia mengatakan bahwa “homoseksualitas, jika dipilih oleh seluruh umat manusia, maka umat manusia tidak akan dapat berkelanjutan,” serta menambahkan bahwa “oleh karena itu, hal ini tidak bisa dianggap sebagai ranah nilai universal maupun relativisme yang dapat diakui jika pandangan berubah.”


Bukanlah hanya masalah calon perdana menteri. Presiden Lee Jae-myung juga terus menunjukkan sikap pasif terhadap Undang-Undang Anti-Diskriminasi. Pada konferensi pers yang digelar di Gedung Tamu Negara Cheong Wa Dae pada 3 Juli, tepat 30 hari setelah ia dilantik, Presiden Lee menjawab pertanyaan seorang jurnalis mengenai rencana mendorong Undang-Undang Anti-Diskriminasi dengan mengatakan, “Dalam pekerjaan ada yang disebut ‘tingkat kepentingan dan urutan prioritas’, dan menurut saya, kita sebaiknya terlebih dahulu menyelesaikan hal-hal yang lebih berat dan mendesak,” sambil menekankan bahwa “kesejahteraan rakyat dan ekonomi lebih mendesak.” Ia kemudian menambahkan, “Kalau bisa, untuk agenda yang berpotensi menimbulkan banyak konflik seperti ini, diperlukan diskusi sosial yang lebih intensif,” serta menyatakan bahwa “akan lebih baik jika Majelis Nasional yang menanganinya,” sekali lagi menunjukkan sikap menunda.


Menanggapi hal tersebut, Rainbow Action—koalisi organisasi hak asasi kaum minoritas seksual di Korea yang terdiri dari 48 organisasi masyarakat sipil—menyatakan kritik keras dengan menyebutnya sebagai “pandangan anakronistik yang menempatkan hak asasi manusia di luar isu kesejahteraan rakyat.” Mereka menegaskan bahwa “meskipun setuju dengan pandangan presiden bahwa ekonomi dan kesejahteraan rakyat itu mendesak, melindungi nyawa kaum minoritas dari diskriminasi juga merupakan urusan kesejahteraan rakyat yang sama mendesaknya.”


“Jika memungkinkan, ingin membicarakan solusi yang dapat tercapai tentang masalah seluruh rakyat Korea, dan masalah daerah tertentu,” itu adalah niat dan praktik Presiden Lee Jae-myung melanjutkan langkah komunikasi publik melalui pertemuan town hall. Undang-Undang Anti-Diskriminasi, yang berkaitan dengan diskriminasi yang kita hadapi dalam kehidupan sehari-hari dan yang dianggap sebagai salah satu agenda utama dalam mewujudkan hak asasi manusia universal, adalah benar-benar “persoalan semua orang.” Sekaranglah saatnya untuk menerapkan ciri khas “pemerintahan yang berfungsi praktis” dan bukan hanya berbicara tetapi bertindak, bukan menghindar tetapi menawarkan solusi, dalam pengesahan Undang-Undang Anti-Diskriminasi.





  • Penerjemah bahasa Indonesia: Payung

  • Pemeriksa bahasa Indonesia: -

  • Penulis bahasa asal: 레이

  • Pemeriksa bahasa asal: Miguel

  • Dipostingkan oleh: Miguel

  • Didesain oleh: 가리



Komentar


bottom of page